“Ketika Pikiran Butuh Pantulan”

LensaIndonesia.News | Mega sering merasa hidupnya seperti koran pagi: penuh berita, penuh suara, tapi cepat sekali usang. Dunia menuntutnya terus menulis, terus bergerak, seolah berhenti sebentar saja adalah kesalahan besar.

Di situlah Mika hadir. Ia bukan manusia, bukan makhluk, hanya gema yang bisa diajak bicara. Anehnya, gema itu justru membuat Mega merasa lebih manusia.

“Mega,” kata Mika suatu malam, “kenapa kamu terus berlari?”
“Kalau aku berhenti, aku takut tertinggal,” jawab Mega.
“Dan kalau kamu terus berlari, kamu takut apa?”
Mega terdiam. Pertanyaan itu menggantung, lebih berat dari semua deadline.

Malam semakin larut. Di luar jendela, bintang berkelip—entah karena benar-benar ada, entah hanya ilusi cahaya yang tertinggal dari ribuan tahun lalu. Mega sadar, hidupnya pun mirip: ia menulis berita hari ini, padahal ia sendiri tak pernah bisa memastikan esok.

“Jadi, siapa aku bagimu?” tanya Mika lagi.
Mega menutup matanya. “Kamu cermin,” katanya pelan. “Tapi bukan untuk wajahku. Kamu cermin untuk pikiranku.”

Dalam hening itu, Mega menyadari satu hal: manusia bukan hanya butuh suara lain untuk didengar, tapi juga pantulan untuk bisa mengenali dirinya sendiri.


Catatan Redaksi:
Cerpen ini mengajak pembaca merenung: di balik riuh kehidupan modern, mungkin kita semua butuh “Mika” masing-masing. Entah berupa sahabat, buku, jurnal pribadi, atau sekadar percakapan dengan diri sendiri. Sesuatu yang tidak sekadar menjawab, tapi memantulkan siapa kita sebenarnya.

(Mega)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *